Dalam Pecahan Kecil Itu

11113698_804011919689976_8419126336827679647_n

Bergelung dengan anak-anak selama 24 jam itu tidak jarang membuat emosi naik turun. Apalagi kalau mereka sedang aktif-aktifnya. Maunya, urusan domestik beres, rumah rapi tapi juga anak-anak anteng terfasilitasi. Satu sisi lainnya kita butuh untuk quality time untuk diri sendiri. Membaca buku, tidur cukup tanpa gangguan, crafting atau sekedar menyelesaikan draft tulisan yang terbengkalai barangkali hanya satu dari sekian banyak hal yang terpaksa kita lakukan menjelang tengah malam. Sure, you are not a supermom! Menjadi supermom hanya akan membuat stres, karena jelas tidak semua hal bisa kita tangani dan dapatkan. Jika kita ingin rumah rapi dan anak terfasilitasi, ada hal yang harus dikorbankan yaitu waktu istirahat kita. Kalau istirahat kurang, tidak jarang justru membuat mood menjadi buruk. Bagaimana bisa menghadapi tingkah polah anak apabila mood kita buruk?

Seperti suatu kali saat kondisi sedang lelah dan kedua gadis kecil itu justru berebut, menggelendot di ujung kaki, minta semua dilayani dan diperhatikan. Si bungsu yang masih berusia kurang dari dua tahun berada dalam posisi sulit hingga hampir terjatuh. Dalam posisi begitu, saya tunjukkan sebuah foto makanan kepada si sulung dari smartphone saya. Siapa nyana, justru foto itu digigitnya hingga layarnya retak dan tombolnya pun tidak berfungsi. Marah? Jelas. Usia 4 tahun tidak saya sangka dia akan berbuat begitu. Sedih? Jelas. Itu adalah satu-satunya smartphone saya yang diberikan suami untuk memfasilitasi hobi menulis dan onlineshop. Kecewa? Jelas. Bahkan saya sempat berandai-andai tidak menunjukkan foto itu kepada si sulung. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Sempat saya menunjukkan marah saya dengan panjang lebar menceramahi si kecil tentang kesalahannya. Sempat saya mendiamkannya, karena daripada saya berbicara saat marah padanya, saya lebih baik diam agar tidak terlepas emosi yang berlebihan.

Namun, saya kembali merenung. Mencari. Apa ya, hikmah dari kejadian ini? Mengingat kembali peran si smartphone yang justru banyak menyita waktu saya. Menyusui sambil pegang smartphone. Bermain dengan anak-anak sambil bawa smartphone. Bahkan anak-anak pun sudah mulai terlalu sering melihat youtube meski yang dilihat video play doh atau video pediatrician (Ashima sangat tertarik dengan dunia kedokteran), sejak saya memiliki si smartphone. Apakah ini berarti saya harus kembali menata quality time bersama anak-anak? Yah, meski saya harus rela rehat sejenak dari hobi fotografi amatiran dan belajar merajut yang sedang saya gemari. Kembali menata proses belajar si sulung yang masih tersendat dan lebih menstimulasi si bungsu seperti saat saya belum bersama si smartphone? Hai smartphone, engkau memunculkan banyak ide dan memberi inspirasi, namun ternyata banyak batas yang tercipta setelah kita semakin akrab.

Lalu kemarahan saya pada si sulung pun mereda. Saya mengikhlaskan jika toh smartphone saya itu tidak bisa diperbaiki, atau saya tidak lagi memiliki smartphone yang berarti saya tidak bisa whatsapp-an, upload foto di instagram atau membuat quote lagi dengan si smartphone. Mendengar perkataan si bungsu saat saya masih mendiamkannya, “Bu, aku kan sudah minta maaf.” membuat luluh hati. Apa yang diharapkan dari seorang anak kecil? Mengganti HP-mu? Dengan apa? Ah, saya harus berpikir rasional. Bagaimana pun, dia sungguh tidak tahu bahwa layar HP itu begitu ringkihnya? Lalu apakah kesalahannya dilupakan begitu saja? Tidak, tidak. Tetap harus ada konsekuensi atas kesalahannya, karena kami sudah mengajarkannya sejak kecil bahwa akan ada konsekuensi atas setiap tindakan. Konsekuensi yang diberikan ayahnya adalah: tidak boleh lagi pinjam HP ibu atau ayah, tidak boleh main untuk sebulan, tidak ada jajan (artinya: ibu harus bikin jajan sendiri), tidak ada rekreasi. Waduh, keputusan yang agak berlebihan terlontar oleh suami saya. Maklum saja, kondisi lelah sepulang dari luar kota dan emosi jelas mendominasi. Belum lagi smartphone itu beliau beli dengan menyisihkan kebutuhan lainnya, dan tidak murah bagi kami. Untuk memperbaiki saja kami harus merogoh kocek dalam-dalam seperti membeli HP baru. Tapi berhubung si sulung belum mengerti konsep waktu, konsekuensi itu masih bisa kami perbaiki atau dikurangi. No gadget? I’m happy to try. Hehe..

Mengingat si sulung sudah sangat membantu saya di usianya yang masih sangat kecil. Bisa saya andalkan saat saya memiliki kebutuhan mendesak, seperti mandi atau ke toilet. Saya selalu memintanya menjaga sang adik. Meskipun mereka sering berebut segala sesuatu (maklum, gender sama), alhamdulillaah.. si sulung selalu bisa saya andalkan dan jauh lebih mengalah kepada adiknya saat saya tidak ada. Tentu saja saya meninggalkan mereka tidak pernah lama. Saya selalu memberi mereka kesibukan untuk dimainkan berdua.

So, dear my lovely girl.. I hope you take your responbility. Don’t be affraid to say sorry about your mistake. Baarakallaahu fiik, dear ^^

6 pemikiran pada “Dalam Pecahan Kecil Itu

  1. Wah, gigitannya kuat jg ya mba @_@ .. Ya kalo dicari segala macam sisi positif, semua kejadian pasti ada ya :) Akupun srg lupain anak kalo udh sibuk ama laptop, hp ato tablet. Dan anakku yg srg cari perhatian jadinya… Tapi biar gimana, apalagi kalo sedang traveling ama suami dan si baby, aku bener2 deh ga berurusan ama hp…krn emg sengaja aku matiin… tujuan utama sih spy liburan ga terganggu ama call kantor :D.. Dan dipikir enak juga loh kalo ga megang gadget bbrp hari :)

  2. Usia anak2 kita sama mbak, empat tahun sama di bawah dua tahun hehe. Duh aku langsung tertohok deh mba, inget sering nyusuin sambil buka2 wassap, inget si sulung yang ngajak main tapi aku ngga konsen liat gadget mulu. Sepertinya memang bukan hanya anak yang dibatasi dalam hal penggunaan gadget, tapi kita juga ya

Beri Tanggapan