bisa apa PBB dengan Suriah?

Politisasi Pertikaian Berdarah Suriah

Pembantaian demi pembantaian terus terjadi di Suriah dan sulit untuk diprediksi kapan akan berakhir. Pasukan Presiden Bashar Al-Assad yang beraliran Syiah seolah tidak perduli kecaman dunia internasional yang terus mengalir dan tetap membunuh nyawa-nyawa warga Sunni tanpa ampun.
Data terakhir yang dirilis Suara Merdeka (tanggal 29 Mei 2012) mengabarkan bahwa sebanyak 109 nyawa penduduk Sunni telah melayang dalam pembantaian di Kota Houla dan 32 diantaranya adalah anak-anak. Mereka dibantai dengan kejam tanpa ampun bahkan beberapa pembunuhan sebelumnya disaksikan oleh keluarga mereka sendiri. Berbagai video di media yang telah dirilis menggambarkan kebengisan tentara Suriah yang sulit diterima akal sehat manusia. Tidak heran dunia internasional pun ikut mengecam aksi mereka bahkan mendesak Presiden Bashar Al-Assad untuk menghentikan pembantaian terhadap rakyatnya sendiri. Duta besar Suriah pun diusir oleh beberapa negara Eropa sebagai wujud kecaman mereka terhadap kebengisan rezim Presiden Bashar Al-Assad.
Menyikapi kecaman tersebut, Presiden Bashar Al-Assad menyatakan bahwa yang dilawan oleh tentara Suriah saat ini adalah teroris dan menolak tuduhan bahwa pemerintah Suriah lah dalang dari semua kekerasan yang terjadi di negara tersebut. Ada pula anggapan bahwa kelompok oposisi Sunni dimotori oleh Al-Qaeda yang mulai bangkit dari krisis di tengah pergolakan Suriah. Namun hal ini ditepis oleh pemimpin kelompok oposisi Sunni yang menegaskan bahwa tidak ada militan Al-Qaeda di antara kelompok oposisi dan mereka murni memperjuangkan nyawa warga Suriah yang telah dibantai oleh rezim Presiden Bashar Al-Assad.

Dewan Keamanan yang Mandul
Mendengar tragedi di Suriah, Kofi Annan selaku utusan khusus Dewan Keamanan PBB melakukan kunjungan untuk mengupayakan adanya diplomasi antara kubu pemerintah dan oposisi. Namun upaya tersebut sulit untuk dicapai mengingat perbedaan ideologi antara kedua belah pihak serta terdapat kepentingan asing yang ikut mewarnai pergolakan ini. Rusia dan China adalah dua negara yang dengan terang-terangan melindungi kubu pemerintahan Presiden Bashar Al-Assad. Keduanya menolak usulan sanksi kepada Suriah yang telah dibawa oleh Barat dan Liga Arab. Liga Arab sendiri seolah kehilangan akal untuk menghentikan kebrutalan di Suriah setelah tim pemantaunya dibekukan akibat kurang efektif bahkan mendapat kritik dari Barat dan pihak oposisi Suriah.
Negosiasi antara Liga Arab dan Rusia berjalan alot karena di balik dukungannya terhadap Suriah, Rusia memiliki kepentingan sendiri. Rusia memilih Suriah sebagai titik strategis untuk menjadi pusat perdagangan senjatanya sementara China memiliki kepentingan ekonomi yaitu memasarkan produk-produknya di Suriah. Demi melindungi kepentingannya di timur tengah, Rusia dan China berani memperjuangkan kepemimpinan Presiden Bashar Al-Assad meski harus menghadapi kecaman Barat dan sekutunya. Terlebih lagi Iran ikut ambil bagian dengan mendukung langkah Rusia dan China yang membuat Barat berpikir seribu kali untuk mengintervensi Suriah seperti yang mereka lakukan di Afganistan. Sebagaimana telah diketahui bahwa Iran memiliki nuklir yang bukan hanya digunakan sebagai sumber energi namun juga pesenjataan.
Luar biasa persaingan negara-negara adikuasa untuk mempertahankan cengkeramannya di Suriah. Posisi Suriah sebagai tapal batas antar etnis, persaingan agama Sunni dan Syiah serta tarik ulur antara kubu pro-Barat dan pro-Iran menjadikannya sebagai lahan subur yang patut diperebutkan. Amerika Serikat dan sekutunya berambisi mematikan langkah rezim Presiden Bashar Al-Assad untuk meredam kekuatan Syiah di Suriah sehingga kekuatan Iran yang dimotori oleh Syiah melemah. Selain itu melemahnya rezim Presiden Bashar Al-Assad juga akan mengurangi kekuatan Hizbullah dan Hammas yang selama ini menjadi batu sandungan Barat untuk menguasai Timur Tengah karena selama ini Suriah telah menjadi pendukung setia dengan pasokan senjata dan artilerinya kepada Hizbullah dan Hammas.
Liga Arab yang dimotori oleh Arab Saudi juga memiliki kepentingan untuk menjauhkan Suriah dari Iran. Arab Saudi yang dikuasai oleh Sunni tidak menyukai Suriah bergandengan tangan dengan Iran yang berpemahaman Syiah. Upaya Liga Arab menggulingkan rezim Presiden Bashar Al-Assad adalah jalan pintas untuk menjauhkan Suriah dari cengkraman Iran.

Reformasi Total Dewan Keamanan
Menghadapi ambisi Rusia, China dan Iran tersebut Barat seakan mati kutu. Dewan Keamanan PBB yang dikomandani oleh Amerika Serikat bagai sebuah ironi di tengah keterpurukan warga Suriah. Keterlibatan Dewan Keamanan PBB di Suriah bagai sebuah senjata yang kehabisan amunisi. Tidak mengherankan karena sebelumnya Dewan Keamanan PBB juga selalu menjadi “pengamat” di tengah negara-negara yang terlibat konflik. Dewan Keamanan PBB iBarat boneka yang hanya bergerak jika ada kepentingan Amerika Serikat yang harus diperjuangkan di dalamnya dan gerakan itu kini harus terganjal oleh Rusia dan China.
Lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak veto yaitu Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Rusia dan China selalu berjibaku dengan kepentingannya sendiri sehingga fungsi Dewan Keamanan PBB selalu sarat dengan muatan politik. Penggunaan hak veto seakan telah memberangus suara-suara negara dunia ketiga yang harus silih berganti menempati posisi sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Tidak heran saat konflik Suriah terjadi, penggunaan hak veto justru menjadi biang keladi mandulnya fungsi Dewan Keamanan PBB. Ketidakberdayaan akibat penggunaan hak veto oleh Rusia dan China menyebabkan resolusi perdamaian di Suriah gagal tercapai karena kedua negara tersebut justru melindungi kekerasan rezim pemerintahan Suriah dengan mementahkan kesepakatan Dewan Keamanan PBB.
Satu-satunya jalan untuk menghidupkan kembali fungsi Dewan Keamanan PBB adalah dengan meniadakan hak veto kelima negara adikuasa. Penggunaan hak veto bukan lagi sesuatu yang relevan karena keberadaan hak tersebut lebih banyak digunakan sebagai legalitas negara-negara adikuasa untuk mencampuri urusan internal negara lain. Selain itu adanya hak veto hanya sebuah upaya dominasi terhadap fungsi dan tugas Dewan Keamanan PBB demi mengenyangkan kepentingan politik negara tertentu.
Asas fairness harus ditata kembali dengan memberikan kesempatan kepada negara lain terutama negara dunia ketiga seperti Afrika dan Asia untuk menduduki jabatan anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Negara-negara berkembang dapat ikut ambil suara dan memainkan peranan dalam menentukan upaya penjagaan terhadap perdamaian global bukan hanya sebagai pelengkap dalam struktur Dewan Keamanan PBB. Reformasi memang sangat dibutuhkan dalam tubuh Dewan Keamanan PBB sebagaimana diserukan oleh Gerakan Non-Blok (GNB) agar fungsinya semakin optimal sebagai kekuatan mayoritas yang paling mungkin menolong jeritan tanpa suara rakyat terintimidasi seperti di Suriah saat ini.